Tarif Telepon Rp.1000,00/jam dengan Esia, Lebih Menguntungkan atau Tidak?
(Marginal Analysis antara kerugian & keuntungan yang didapat apabila menggunakan Fasilitas tarif telepon per-jam dari Esia)
“Tugas Aplikasi PEREK Tahun 2008”
Keywords: Marginal Analysis, Tarif Telepon, Esia
Esia, sebagai salah satu operator CDMA memiliki fasilitas tarif telepon Rp.1000,00/jam ke sesama pengguna Esia, namun tarif telepon ini hanya bisa didapatkan apabila pelanggan menelepon selama tidak kurang dari satu jam. Tarif ini lebih ringan bila dibandingkan menelepon selama satu jam dengan tarif normal ke sesama pengguna Esia yang senilai Rp.50,00/menit, yang akan menyebabkan kita menghabiskan total Rp.3000,00. Awalnya penawaran ini terdengar menguntungkan bagi saya sebagai pelanggan. Dengan menghabiskan pulsa prabayar Rp.1000,00 saja saya sudah dapat berbincang panjang lebar dengan teman selama satu jam. Namun, setelah beberapa bulan menggunakan fasilitas ini saya tidak lagi merasa diuntungkan. Hal ini disebabkan karena seringkali saya harus menyudahi telepon sebelum durasi telepon mencapai satu jam justru karena tidak ada lagi yang dapat saya bicarakan dengan lawan bicara saya untuk menunggu sampai satu jam. Berdasarkan kejadian yang saya alami maka saya bertanya-tanya, mengapa saya tidak lagi merasa diuntungkan dengan tarif telepon tersebut?
Saya berusaha menjelaskan kejadian yang saya alami ini berdasarkan prinsip perilaku ekonomi marginal analysis. Marginal Analysis sendiri merupakan analisis perbandingan dari perubahan yang terjadi pada setiap variabel ekonomi dalam setiap tambahan unit dari aktivitas yang kita lakukan berkaitan dengan variabel tersebut. Perubahan yang terjadi pada setiap variabel ekonomi tersebut mencakup perubahan pada marginal cost dan marginal benefit yang dimiliki oleh variable tersebut. Marginal cost adalah tambahan biaya yang kita keluarkan setiap kali kita menambah satu unit dari aktivitas yang kita lakukan yang berkaitan dengan variabel tersebut. Sedangkan marginal benefit adalah tambahan keuntungan yang kita dapatkan setiap kali kita menambah satu unit dari aktivitas yang berkaitan dengan variabel. Benefit atau keuntungan yang kita dapatkan dari melakukan tiap unit aktivitas tidak hanya berupa uang, namun dapat juga berupa unit barang, utilitas tertentu yang bermakna bagi kita, bahkan dapat berupa tingkat kepuasan yang kita dapat setiap kali kita melakukan aktivitas.
Marginal analysis mengemukakan bahwa kita sebaiknya terus meningkatkan level aktivitas yang sedang kita lakukan selama marginal benefit yang kita dapatkan dari aktivitas tersebut masih melebihi marginal cost yang kita keluarkan. Namun hal ini tidak mudah diterapkan, karena kita tidak betul-betul dapat memperkirakan perbandingan antara marginal cost dan marginal benefit dari penambahan unit aktivitas yang kita lakukan, ditambah lagi marginal benefit biasanya cenderung semakin menurun setiap kali penambahan unit dari aktivitas yang kita lakukan.
Berdasarkan prinsip marginal analysis ini saya mencoba menganalisis pengalaman saya sendiri. Dalam kejadian yang saya alami maka yang disebut sebagai marginal benefit yang saya dapatkan adalah tambahan kepuasan setiap menitnya yang saya dapatkan dari berbicara di telepon dengan teman saya selama satu jam. Sedangkan marginal cost yang saya keluarkan adalah tambahan biaya setiap menit bicara di telepon selama durasi satu jam pembicaraan. Nilai marginal benefits yang kita dapatkan biasanya cenderung untuk berkurang setiap kalinya kita menambah satu unit dari aktivitas yang sedang kita lakukan (http://sorrel.humboldt.edu/~economic/econ104/marginal/), dalam hal ini berarti kepuasan yang saya dapatkan setiap menit saya menambah durasi telepon saya. Hal ini dapat terjadi karena pada menit-menit pertama saya menelepon saya masih bersemangat dan memang ingin mengobrol, sehingga saya masih merasakan kepuasan yang maksimal, namun seiring dengan berlanjutnya durasi telepon maka saya mulai bingung mau membicarakan apa. Saat itulah marginal benefits yang saya dapatkan mulai berkurang secara bertahap, namun marginal cost yang saya keluarkan tetap sama nilainya, tentu saja perbandingan antara biaya yang saya keluarkan dengan kepuasan yang saya dapatkna menjadi tidak sebanding. Hal inilah yang membuat saya sadar bahwa sebetulnya menelepon berlama-lama dengan Esia selama satu jam penuh sebetulnya tidak sebegitu menguntungkannya.
Tambahan lain, Esia seringkali mengalami masalah dengan sinyal dimana sambungan telepon bisa terputus begitu saja di tengah-tengah pembicaraan padahal hampir mencapai satu jam. Ketika hal ini terjadi, biaya yang harusnya kita keluarkan hanya Rp.1000,00 namun justru meningkat berlipat ganda karena durasi telepon tidak mencapai satu jam, sehingga hitungan tarifnya tetap Rp.50,00/menit. Katakan sambungan telepon telah terputus ketika kita baru mencapai durasi telepon sekitar 50 menit, maka biaya yang kita keluarkan adalah 50 menit x Rp.50,00 = Rp.2.500,00. Angka tersebut jelas lebih banyak daripada Rp.1000,00 bukan? Demikian saya sampaikan uneg-uneg saya terhadap Esia, semoga bisa ditindaklanjuti, setidak-tidaknya ada perbaikan sinyal sehingga sambungan telepon tidak terputus di tengah-tengah pembicaraan telepon yang sedang berlangsung.
Daftar Pustaka
Frank, R.H. 2008. Microeconomics and Behavior Seventh Edition. New York: Mcgraw-Hill.
Labels: esia, marginal analysis
Labels: menerima
Sebelum saya memulai postingan blog ini saya mau minta maaf terlebih dahulu kalau sekiranya postingan di blog saya ini kayanya isinya sedih melulu atau terkesan sangat pesimis, tapi kalau boleh saya mohon pemaklumannya, yah saya memang belum bisa dibilang sedang senang hati sih beberapa bulan belakangan ini.
Tadi malem, waktu saya lagi malang melintang online di facebook gajelas, tiba-tiba seorang teman saya mengirimkan link postingan blognya yang katanya harus saya baca. Isi blognya adalah tentang bagaimana proses mengerti, menerima, dan memaafkan sesuatu (atau seseorang) adalah tiga hal yang berbeda dan dapat dilewati secara bertahap. Bagi yang tertarik untuk menilik lebih lanjut isi postingan tersebut bisa
Sejenak, saya berpikir setelah membaca postingan itu. Ya, mengerti dan menerima memang hal yang berbeda, betul banget. Di mata kuliah wawancara juga pernah dikatakan bahwa teknik untuk menjadi interviewer (iter) yang baik adalah ketika kita mencoba menempatkan diri pada sudut pandang interviewee (itee), namun tidak berarti setuju akan sudut pandangnya. Mengerti si itee, namun bukan menerima pendapat itee sebagai pendapat kita juga. Dalam mata kuliah tersebut juga dijelaskan bahwa tidak mudah memang untuk mengerti sudut pandang seseorang tanpa terpengaruh sudut pandang tersebut atau justru tergoda untuk berargumentasi dengan si itee dan memasukkan pendapat kita sendiri. Terutama apabila isu yang sedang dibicarakan merupakan isu yang sensitif atau kontroversial.
Sesuai dengan apa yang teman saya tulis di blognya,
“…bagaimana gw bisa memaafkan seseorang kalau gw saja nggak bisa mengerti kenapa dia melakukan tindakan yang menurut gw ataupun dia adalah sebuah kesalahan itu. Butuh banyak hal untuk bisa mengerti motif dan banyak aspek lainnya tentang tindakan yang dilakukan seseorang. Butuh rasa pengertian luar biasa dalam hal ini dan tingkat kesabaran, kebesaran hati, dan kedewasaan untuk bisa memahami dan mengerti alasan seseorang melakukan suatu hal.
Sulit sekali mengerti jalan pikiran seseorang, apalagi kalau jalan pikirannya bertentangan dengan logika yang kita miliki. Kalaupun akhirnya bisa dimengerti, entah karena memang diusahakan sedemikian rupa untuk mengerti atau memang diikhlaskan saja dan diterima-terima aja jalan pikiran itu. Sekali lagi tidak ada orang yang cocok 100%, yang benar-benar ada itu mencocok-cocokkan. Buat gw, proses gw mengerti jalan pikiran seseorang alasanya adalah manusia emang beda-beda, alur logika gw memang tidak bisa disamakan dengan alur logika orang lain. Tapi, ini fase pertama dimana gw bisa mulai atau paling tidak mengarahkan diri gw sendiri untuk memaafkan kesalahan seseorang.”
Mengerti pendapat dan keputusan seseorang membutuhkan rasa pengertian yang besar, dan daya kognitif yang besar juga. Kalau dilakukan dengan benar-benar dapat menguras tenaga. Coba bayangkan, untuk mengerti teori seorang behavioristik seperti Skinner saja dibutuhkan usaha yang teramat besar bukan? Padahal semua teori maupun pemaparannya sudah jelas-jelas tertulis di buku-buku yang dengan mudah bisa kita dapatkan dimana saja. Bagaimana dengan pemikiran seseorang (yang akhirnya membuat dia memutuskan sesuatu) dimana pemikiran tersebut tidak terpaparkan di buku manapun, dan hanya disampaikan melalui kata-kata. Namun, seperti yang kita semua tahu, betapa keterbatasan kata-kata dapat menyebabkan kesalahpahaman, bahkan pertikaian. Apalagi jika keputusan maupun pendapat tersebut merupakan hal yang baru dan mengejutkan bagi si penerima. Belum lagi jika pendapat dan keputusan tersebut menyangkut keadaan emosional si penerima (dalam hal ini tentu saya sedang membicarakan diri saya sendiri). Sulit untuk mengerti ketika kita belum bisa menempatkan posisi kita di posisi orang lain tersebut, percaya deh. Sulit.
“Mengerti saja tidak cukup membuat tenang. Mengerti membuat gw berhenti menanyakan alasan kenapa kesalahan itu terjadi, tetapi mengerti membuat gw makin banyak memiliki pertanyaan tentang kenapa seseorang bisa berpikir seperti itu dan semakin dikritisi hal itu semakin tidak selesai dan malah membuat pusing.
Biasanya tahap dimana gw menerima sesuatu adalah pada saat gw sudah mengerti dan mencoba berdiri dengan kepala tegak untuk berjalan ke depan, untuk bisa menyimpan dan mengolah logika gw tentang alasan-alasan yang sebenarnya masih butuh usaha keras untuk tidak dipertanyakan lagi. Ketika gw masih kecewa dan berusaha melawan kekecewaan gw dengan cara merasionalisasikan lagi semuanya dari berbagai macam aspek. Ketika gw sudah berjalan ke depan dan tidak lagi menoleh ke belakang, walaupun terkadang ingin juga gw lakukan. Perjalanan pemikiran tentang mengerti ini akan berhenti ketika gw tidak merasakan sakit hati lagi, tidak merasa tertohok ataupun terbanting lagi adalah fase di mana gw sudah bisa dikatakan menerima.”
Iya, mengerti memang hanya sekedar mengerti. Saya memang sudah mengerti perlahan-lahan alasan-alasan yang dia kemukakan dan yang paling penting adalah saya sudah tahu secara bertahap dimana letak kesalahan saya. Namun untuk menerima? Tampaknya sedikit lebih sulit. Bagi saya menerima untuk menyetujui keputusan seseorang itu sebagai keputusan yang benar itu setingkat lebih tinggi daripada sekedar mengerti. Yah, dan benar saja, sampai detik ini pun saya masih terus mempertanyakan dalam hati
Pertanyaan seperti:
“saya sudah tahu salah saya dimana, oke saya memang sangat amat salah salaaaah banget, tapi apakah saya tidak diberi kesempatan untuk memperbaikinya?”
“apakah memang ada motif-motif lain yang berkaitan dengan orang lain?”
“apa saya seburuk itu dan orang lain lebih baik?”
Pertanyaan-pertanyaan yang saya buat-buat sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang hanya akan lebih menghancurkan lagi self esteem saya yang sudah hancur. Pertanyaan-pertanyaan yang hanya membuat saya merasa semakin merasa bersalah dan semakin merasa buruk. Pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya membuat saya pusing sendiri sampai akhirnya saya menelepon teman saya dan menangis menggerung-gerung betapa saya tidak sanggup menerima keadaan ini. Oke, ralat, mungkin saya sanggup, suatu hari saya pasti akan menerimanya, tapi yang saya keluhkan adalah saya tidak tahu kapankah tiba saatnya hingga saya bisa menerima.
Saya juga ingin merasionalkan semua pertanyaan-pertanyaan saya tersebut, mencari jawaban yang paling logis atas itu semua. Mungkin yang sebenarnya terjadi justru adalah saya SUDAH TAHU jawaban sebenarnya, yang selogis-logisnya. Hanya, ya itulah, memang saya belum bisa menerima keputusannya dan keadaan yang sekarang ini.
“Masalahnya, ketika sudah menerima dan sudah tidak merasakan sakit lagi, Cuma ada dua kemungkinan. Benar-benar ikhlas dalam artian nrimo beneran atau menerima sesaat dengan masih adanya motivasi dendam, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dendam merupakan salah satu motivasi terampuh untuk membuat kita semua berdiri. Tidak baik memang. Bapak gw pernah bilang untuk tidak apa-apa kalau gw mau menjadikan dendam sebagai sebuah motivasi, semua orang akan mengalami fase itu. Pada akhirnya, gw akan tahu kalau nanti mungkin sesuatu yang bisa disebut “serangan balik” itu tidak kita perlukan karena orientasinya akan berubah juga secara perlahan.
Seharusnya pada fase terakhir yaitu memaafkan, kita sudah bisa melakukan hal yang berkaitan dengan mengerti dan menerima secara ikhlas, bukan yang hanya sesaat. Gw sempat berpikir pada saat gw bisa mengerti semua hal dan menerimanya, gw berarti sudah bisa memaafkan kesalahan yang terjadi. Tapi faktanya terkadang gw bingung sendiri apakah gw benar-benar pernah mengerti arti dari sebuah kata memaafkan? Mungkin gw mengerti, tapi apakah hal yang selama ini gw lakukan ada bentuk yang benar dari implementasi kata memaafkan? Sejujurnya, gw pun tidak pernah tau.”
Motivasi dendam, saya setuju bila ada yang mengatakan dendam terkadang bisa sangat membantu. Di saat-saat yang dibutuhkan setitik rasa dendam yang kuat bisa menjadi senjata yang paling ampuh untuk sekedat melindungi sisa-sisa harga diri yang masih saya miliki. Rasa yang muncul adalah ingin orang yang telah membuat saya sakit hati itu menyesal suatu hari nanti entah bagaimana caranya. Namun kemudian, yang ada hanyalah rasa iri, dengki, amarah, serta tidak bersyukur terhadap Tuhan. Saya sendiri samasekali tidak mengecam motivasi dendam ini, karena sekali lagi saya bilang, dendam terkadang dibutuhkan. Untuk memperlihatkan bahwa saya baik-baik saja, bahwa saya akan menjadi lebih baik lagi, untuk memperlihatkan bahwa saya kuat. Walaupun ujung-ujungnya motivasi dendam hanya akan membuat diri sendiri letih. Padahal toh kita ini sudah cukup letih.
Dendam, bisa jadi bantuan bagi kita untuk melupakan, mengabaikan dan menghilangkan suatu perasaan atau kejadian, orang, dsb. Namun tetap saja, bukan menerima suatu keadaan, apalagi memaafkan. Saya sadar betul, yang saat ini saya lakukan adalah mengabaikan, menghilangkan, atau berusaha melupakan, singkatnya suppression.
“Menghilangkan sesuatu dalam artian membasmi semua hal yang dapat membuat kita teringat akan hal-hal yang telah lalu. Memutuskan kontak dengan kejadian masa lalu, berlari, dan tidak mau tahu, mendengar, bahkan merasakan.
Saya tahu ini salah, tindakan-tindakan ini hanya merupakan tindakan lari dari kenyataan yang ada, yang saya lakukan hanyalah bersembunyi dari hal-hal yang bisa menyakiti hati saya, menutup mata, telinga, dan mungkin juga hati saya. Berputar-putar mencari comfort zone yang akan melindungi saya. Mencari distraction atas masalah yang sedang saya hadapi. Mengasihani diri sendiri, membuat diri terlihat sangat kuat sekaligus sangat ‘korban’ sehingga saya mendapat simpati. So pathetic. Saya berpura-pura terlalu sibuk, berpura-pura memiliki kehidupan yang lebih penting untuk dijalani, untuk itu saya BERPURA-PURA tidak peduli. In fact, I do care, a lot. I always care. Kalau saya tidak peduli, untuk apa saya harus berlari-lari dari semua ini? (oh my god, it rhymes!).
Menghilangkan, mengabaikan, melupakan, bukanlah solusi dari sebuah permasalahan. Menghilangkan hanya perwujudan lari dari kenyataan. Mencoba berlindung dari ketakutan yang diciptakan oleh diri sendiri. Sedangkan melupakan? Kita tidak akan pernah ‘lupa’ akan sesuatu rasa, kejadian, atau apapun itu jika kita benar-benar berusaha melupakannya. Lupa terjadi dengan sendirinya.
“Melupakan menurut gw lebih ke arah tidak mau tau dan langsung lari mengalihkan pikiran ke hal lain agar tidak perlu teringat kembali dengan hal-hal menyakitkan tersebut. Mungkin tidak dibuang, akhirnya hanya akan menjadi sebuah “senjata” untuk meningkatkan kewaspadaan. Karena lupa itu hanya membuang sementara, ketika ada hal yang bisa mengasosiasikan kita terhadap hal-hal tertentu atau mengarahkan ke kejadian yang buruk, ingatan itu akan kembali lagi, seberapa keraspun usaha kita untuk mengatakan kalau kita sudah benar-benar lupa.”
Melupakan, mengabaikan, dan menghilangkan itu melelahkan dan menyakitkan. Karena semakin kita berusaha untuk melakukan ketiga hal tersebut, yang ada justru kita semakin terokupasi akan hal yang ingin kita hilangkan. Namun saya sendiri melakukan hal itu. Seorang teman saya bilang bahwa hal ini wajar, karena ini suatu wujud perlindungan diri dan penyelamatan diri sendiri. Sekarang saya mengerti kenapa Freud mengemukakan apa yang disebutnya sebagai self defence mechanism. Kira-kira seperti itulah bentuknya.
“Terkadang ada perasaan untuk membuat orang yang pernah melakukan kesalahan itu menyesal, tapi pada akhirnya gw tidak perduli. Semua teringat, tapi sudah tidak ada artinya lagi. Sudah tidak bisa lagi merasakan sakitnya, sudah lupa bagaimana besar rasa dendam yang ada. Tiba-tiba saja semua orientasinya berubah dan tali yang mengikat gw dengan masalah itupun lepas, sehingga selesai dengan sendirinya. Mungkin memang tahap gw memaafkan adalah dengan cara itu. Ketika gw tidak perduli lagi dan tidak terganggu dengan keberadaan subjek yang melakukan kesalahan terhadap gw dan gw bisa menyikapinya dengan sewajar mungkin tanpa dibuat-buat. Di situlah proses gw memaafkan yang pada akhirnya mungkin dapat menghasilkan kalimat, “Oh, gw sudah memaafkannya kok.”, baik secara eksplisit maupun implisit.”
Saya pernah berada di posisi seperti ini sebelumnya. Mengalami sebuah hal buruk yang mengharuskan saya menerima perubahan yang bisa dibilang sangat tidak enak bagi saya saat itu. Saya juga pernah melalui fase memaafkan. Saya pernah, dan saya ingat betul rasanya. Perasaan seperti terlepaskan dari ikatan tali-tali tambang yang selama ini menggores-gores kulit, badan, juga hati. Perasaan tenang, damai, dan senyuman tulus. Perasaan gembira dan yang ada hanya menertawakan apa yang sudah terjadi. Pada saat itu, yang ada hanyalah indah. Saya sudah tidak ingat lagi rasa sakit hatinya, oke mungkin saya ingat, tapi sudah tidak peduli lagi. Semuanya selesai dengan sendirinya, dan ditutup dengan seyuman paling manis yang saya miliki. Bahkan tidak ada penyesalan, airmata, amarah atau rasa sedih sedikitpun yang terasa ketika saya ingat-ingat lagi kejadian-kejadian waktu itu. Yang ada hanyalah senyum. Saya pun bisa berhubungan dengan baik dengan orang yang dulu pernah sangat saya risaukan tersebut. Tidak ada penyesalan. Tidak ada dendam. Saya bahkan tidak peduli apa dia menyesal atau tidak.
“Satu hal yang pasti, to forgive takes a very long time somehow”
Sangat lama bahkan. Perasaan saya waktu itu persis dengan perasaan saya saat ini. Takut, marah, sedih, lelah, ragu, semua bercampur aduk. Sampai akhirnya saya menyerah dan pasrah. Saat itulah saya belajar untuk menerima dan memaafkan. Satu hal yang saya pelajari, ketika kita sudah menerima, jauh lebih mudah untuk memaafkan.
Salah seorang teman saya yang lain, Disa namanya, bertanya pada saya “Ayo dhe, orang yang udah cerai aja bisa damai lagi dan bisa jatuh cinta lagi kok, masa sih lo takut jatuh cinta lagi?”. Benar juga, orang yang bercerai pasti hatinya lebih remuk redam daripada saya. Pertanggungjawaban mereka juga lebih besar, terutama jika mereka sudah memiliki anak. Perbedaannya dengan saya adalah mereka memiliki lebih banyak pengalaman dan daya kognitif yang sudah lebih matang daripada saya. Tapi saya tetap berdoa dan berdoa, suatu hari nanti saya akan bisa bicara lagi dengannya.
Untuk sekarang, yang harus saya lakukan adalah berdamai.
Damai dengan diri sendiri
Damai dengan keadaan
Baru kemudian berdamai dengan dia.
Terimakasih buat Saski atas blognya yang sangat inspiring, buat semua temen2 yang masih mau nemenin dan dengerin saya, dan nemenin saya nangis :)
I love you guys, and I mean it. Doakan saya yaaa.
- D! -
Labels: dan memaafkan, menerima, mengerti
Labels: ibu
Labels: jodoh, pasangan hidup
Labels: sampah